
Atiqa Nusaidah, mahasiswa Program Magister Teknik Industri, Departemen Teknik Mesin dan Industri (DTMI) UGM memaparkan hasil penelitian tesisnya dalam Seminar Hasil pada Rabu (16/07). Hasil penelitian untuk tesis berjudul ”Pengaruh Perbedaan Suhu Istirahat terhadap Kesetimbangan Termal, Respon Fisiologi, Performa Kognitif, dan Persepsi Subjektif Pekerja Cold Storage Di Wilayah Iklim Tropis” dipresentasikan Atiqa di hadapan tim penguji beranggotakan Ir. Ardiyanto, S.T., M.Sc., Ph.D., AEP, IPM. dan Ir. Fitri Trapsilawati, S.T., Ph.D., IPM., ASEAN Eng., serta didampingi oleh tim dosen pembimbing beranggotakan Dr.Eng. Ir. Titis Wijayanto, S.T., M.Des., IPM., ASEAN Eng. dan Dr. Ir. Hifni Mukhtar Ariyadi, S.T., M.Sc., IPM..
Dalam upaya mendukung keselamatan dan produktivitas pekerja di industri cold chain, terutama sektor cold storage yang tengah berkembang pesat di Indonesia, Atiqa melakukan penelitian untuk memahami dampak paparan suhu dingin ekstrem terhadap kondisi fisiologis dan kognitif manusia. Berangkat dari kekhawatiran akan kurangnya studi di negara beriklim tropis seperti Indonesia, penelitian ini menyoroti pentingnya suhu istirahat dan faktor gender dalam menjaga kesetimbangan termal serta kenyamanan pekerja cold storage.
Penelitian dilakukan terhadap 16 subjek, terdiri dari 8 laki-laki dan 8 perempuan. Dalam simulasi kerja berdurasi 10 menit diselingi istirahat 10 menit, para subjek diuji dalam paparan suhu kerja dingin 0–5°C, kemudian diberikan dua perlakuan suhu istirahat yang berbeda: 24°C (suhu nyaman) dan 27°C (suhu rata-rata luar ruangan Indonesia tahun 2024).
Hasilnya menunjukkan bahwa suhu istirahat 27°C lebih efektif dalam meningkatkan temperatur kulit, khususnya di area ekstremitas seperti dahi, hidung, tangan, dan kaki, yang berperan penting dalam pemulihan tubuh. Selain itu, faktor gender memberikan pengaruh signifikan, di mana laki-laki menunjukkan temperatur kulit yang lebih tinggi dibandingkan perempuan selama pemulihan.
Secara fisiologis, suhu 27°C juga menurunkan laju konveksi dan radiasi panas melalui kulit (Csk dan Rsk), sehingga mengurangi aliran panas keluar tubuh (Hsk) dan membantu mempertahankan kesetimbangan termal lebih baik. ”Hasil ini menunjukkan bahwa suhu istirahat yang lebih tinggi memberikan manfaat dalam proses pemulihan tubuh setelah terpapar suhu dingin,” papar Atiqa.
Lebih jauh, temuan ini menjadi landasan penting untuk perancangan lingkungan kerja yang lebih adaptif, termasuk penyesuaian suhu ruang istirahat, desain Alat Pelindung Diri (APD), serta pengaturan sif kerja yang mempertimbangkan faktor gender dan respon fisiologis pekerja.
Kontributor: Maryanti, A.Md.
Penyusun: Gusti Purbo Darpitojati, S.I.Kom.