
Sebagai mahasiswa, mencetak prestasi dengan memenangkan berbagai lomba dapat dilakukan secara individu maupun berkelompok, dan dalam berkelompok, tentu mahasiswa dapat memilih untuk berkelompok dengan sesama mahasiswa dari bidang keilmuan yang sama maupun lintas bidang, yang tentu menyesuaikan dengan bidang lomba yang diikuti. Seperti yang dilakukan oleh Farras Maula Audina, mahasiswa Program Sarjana Teknik Industri, Departemen Teknik Mesin dan Industri (DTMI) UGM yang bersama dengan 4 mahasiswa dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM berjaya dalam ajang Susilo Business+Ethics Case Competition 2025 di Swedia pada Kamis (05/06) dengan raihan Juara 1 untuk kategori Woolpower Case dan Juara 3 untuk kategori Single Technologies. Raihan tim UGM menjadikan mereka memperoleh Juara Umum 3 dalam perhelatan tersebut, menjadikan salah satu yang terbaik di antara tim-tim dari Stanford University, University of Massachusetts Boston, Trinity College Dublin, Tor Vergata University, dan Caucasus University.
Dilansir dari laman web resmi UGM, Susilo Business + Ethics Case Competition yang diikuti oleh Farras dan tim adalah kompetisi kasus bisnis tahunan yang diselenggarakan oleh The Susilo Institute for Ethics in the Global Economy, Questrom School of Business, Boston University, dengan fokus pada isu keberlanjutan dalam bisnis. Pada babak penyisihan, Farras dan tim diminta untuk menyelesaikan kasus bisnis mengenai startup yang menjual produk headset gaming interaktif untuk penderita ADHD, dengan fokus pada peningkatan atensi dan kontrol impuls dengan output berupa executive summary. Peserta yang lolos babak penyisihan kemudian melaksanakan presentasi daring untuk area Asia-Pasifik. Setelah babak penyisihan dan semifinal menyisakan enam finalis untuk berangkat ke Swedia, para finalis diminta untuk menganalisis tantangan, potensi peningkatan, serta solusi yang dapat dilakukan pada dua perusahaan, Single Technologies dan Woolpower. Farras menyatakan bahwa secara umum, ketentuan analisis yang dicakup untuk dikerjakan kurang lebih sama dengan lomba business case pada umumnya, seperti problem analysis, market analysis, dan industry analysis. “Karena saya anak TI (Teknik Industri – red.) dan salah satu case-nya berfokus pada supply chain, khususnya terkait pemilihan lokasi produksi, apakah inhouse atau outsource, saya menganalisis beberapa kriteria decision making yang sesuai dengan konteks dan nilai-nilai perusahaan, seperti distance, environmental impact, dan lain sebagainya,” tambahnya. Dari permasalahan yang dianalisis, Farras menyampaikan bahwa output yang dinilai adalah berupa slide deck yang dipresentasikan selama 10 menit. Slide deck yang dipresentasikan menjadi penghantar tim UGM untuk meraih Juara Umum 3.
Sebagai satu-satunya mahasiswa Teknik Industri dalam timnya, Farras menyatakan bahwa mutual connection dan personal brand menjadi kunci untuk ia dapat bergabung dalam tim lomba Susilo ini. “Mereka (mahasiswa FEB) memang mencari anak teknik yang generalis dan memiliki business acumen yang baik juga. Kemudian mereka melihat saya di LinkedIn dan ada mutual connection yaitu Mas Adrian (TI 20) yang sempat mereka tanyakan terkait rekomendasi anak TI untuk diajak lomba,” tuturnya. Merincikan tentang penerapan ilmunya di lomba ini, Farras memberikan 2 bidang keilmuan Teknik Industri yang membantu tim untuk mengerjakan brief dari lomba. “Pertama ada systems thinking, yaitu kita dituntut berusaha untuk melihat masalah secara lebih komprehensif dari berbagai point of view dan tidak terburu-buru mengambil keputusan, kedua ada supply chain karena case nya memang tentang supply chain yang menurut saya ”this is my field” banget, dengan saya menggunakan MCDM & sensitivity analysis untuk decision making kasusnya,” paparnya.
Mengikuti lomba bertaraf internasional tentu bukan tanpa tantangan. Menurut Farras, timezone difference dan situasi semester 6 yang sangat padat menjadi tantangan utama yang dialami oleh timnya selama menjadi peserta lomba ini. “Intinya super capek aja kemarin semester 6 banyak kerja kelompok tapi malamnya tetap harus hustle untuk lomba ini,” tuturnya. Time zone difference yang mengharuskan timnya untuk begadang dan sulitnya akses kendaraan pendukung menjadi tantangan tersendiri bagi Farras. “Rumah saya jauh dari kampus jadi serem kalau pulang pagi bawa motor,” ungkapnya. Berkaca dari itu, Farras berharap kegiatan lomba serupa di waktu mendatang akan dapat memperoleh dukungan yang lebih memadai dari kampus, baik itu berupa logistik maupun pendanaan.
Oleh karena lomba ini mengangkat topik ethical business, Farras memperoleh banyak insight mengenai ethics, terutama dari CEO perusahaan yang menjadi kontributor case lomba. “Dia value people over profit tapi ya tetap untung (perusahaannya). Sepanjang dia cerita aku melihatnya dia benar-benar ingin menyejahterakan karyawannya dan punya target yang realistis. Bahkan banyak imigran juga di factory nya, ada beberapa yang berhijab juga, jadi benar-benar diverse,” tuturnya. Swedia yang menjadi negara tempat penyelenggaraan lomba juga turut memberikan wawasan kepada tim. “Swedish people do value sustainability a lot. Sampah benar-benar dipisahin dengan baik, bahkan secuil sayur saja juga tetap harus dipisahkan,” ujarnya. Menutup pernyataannya, menurut Farras, pengalaman mengikuti Susilo Business + Ethics Case Competition ini memberikan value “do something than you will sacrifice another thing”. “Life is about choosing and deciding. Banyak yang harus di-sacrifice contohnya waktu main dan jam tidur untuk lomba ini. Sama harus banyak-banyak minta pemahaman teman-teman sekelompok kalau selama lomba kemarin memang tidak bisa put that much effort untuk kerja kelompok,” pungkasnya.