Inovasi, Riset, dan Kolaborasi, tiga kata kunci tersebut adalah sedikit dari banyak faktor yang dapat mewujudkan suksesnya pendidikan dari institusi perguruan tinggi. UGM, terkhusus Departemen Teknik Mesin dan Industri (DTMI), telah lama mewujudnyatakan tiga kata kunci tersebut dalam penyelenggaraan pendidikannya, baik dalam taraf nasional maupun internasional. Guna menjaga semangat tersebut, Prof. Deendarlianto, dosen DTMI UGM, beserta dengan Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL) dan 5 orang delegasi lain dari Indonesia yang terdiri dari venture capital (lembaga yang menyediakan pendanaan kepada perusahaan rintisan (startup) atau perusahaan kecil yang memiliki potensi pertumbuhan besar dan cepat – red.), industri, dan entrepreneur melaksanakan kunjungan ke Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sloan School of Management di Amerika Serikat dalam rangka berpartisipasi dalam sebuah inisiatif bertajuk MIT Regional Entrepreneurship Accelerations Program (MIT REAP). Secara umum, Prof. Deendarlianto menuturkan bahwa kunjungannya ke sana memberikan insight bahwa perguruan tinggi harus bekerja berdasarkana deep tech. ”Artinya inovasi dan pengembangan teknologi harus berdasarkan strong R & D program, sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan lebih banyak, produk akan bertahan lebih lama di market, yang kemudian akan memberi impact yang besar kepada society,” tuturnya.
Berangkat pada awal Juni 2025, Prof. Deendarlianto dan delegasi Indonesia lainnya mengikuti workshop selama 2 hari. “Banyak hal kami pelajari, seperti bagaimana mempercepat inovasi, entrepreneurship, menjadmin funding riset yang sustainable, itu satu. Yang kedua, UGM ingin ada kolaborasi riset dan akademik dengan MIT,” jelasnya. Prof. Deendarlianto menambahkan bahwa sebelum kunjungan ini, ia sudah melakukan kontak dengan beberapa koleganya di MIT. ”Alhamdulillah tanggapannya positif dan saya sudah mendapat pesan dari senior staff dari Prof. Evelyn Wang (salah satu akademisi di MIT – red.) bahwa mereka setuju untuk berkolaborasi dan menunggu follow up dari kita,” ujarnya. Selain mengikuti workshop, delegasi dari Indonesia juga melaksanakan tur laboratorium di MIT serta melakukan diskusi perihal akademik serta kemungkinan-kemungkinan kolaborasi yang dapat dibangun antara UGM dan MIT.
Program MIT REAP memiliki tujuan agar dalam semua proses pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi tidak hanya mendorong mahasiswa menjadi sarjana, namun juga agar mahasiswa lebih inovatif. ”Diharapkan bahwa setelah mereka lulus, inovasi yang dibangun bersama dalam proses pembelajaran bersama dosennya akan ada proses hilirisasi setelah lulus. Hal tersebut tentu akan didukung oleh venture capital, seperti di Innovative Academy UGM yang mendorong mahasiswa untuk memiliki jiwa entrepreneurship,” tutur Prof. Deendarlianto.

Mengenai dasar dari UGM untuk berkolaborasi dengan MIT, Prof. Deendarlianto menyatakan bahwa sebuah pendidikan, riset, dan pembangunan startup yang berdampak harus dimulai dari kebutuhan. ”Jika selama ini kolaborasi datang dari luar dengan menawarkan project, kalau sekarang tidak,” tuturnya. Sebelum keberangkatan ke MIT, Prof. Deendarlianto dan para peneliti dari UGM, termasuk dari Fakultas Teknik dan MIPA serta 17 perwakilan industri melaksanakan pertemuan di gedung Pancabrata Prof. Herman Johannes – Engineering Research and Innovation Center (ERIC) Fakultas Teknik UGM untuk membahas 3 topik, yaitu energi, pangan dan alat kesehatan, dan AI (Artificial Intelligence/Kecerdasan Buatan – red.) untuk kehidupan sehari-hari. ”Masing-masing peneliti membangun roadmap riset yang dibangun berdasar kebutuhan industri, dan industri yang dituju harus support riset itu, bisa jadi support pendanaan atau menjadi offtaker dari inovasi. Itulah yang akan kita kolaborasikan dengan MIT,” jelas Prof. Deendarlianto. Kolaborasi tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Deendarlianto, jika berjalan dengan baik akan memberikan dampak baik bukan hanya kepada hilir, namun juga kepada UGM. ”Kita tahu bahwa MIT reputasinya sangat kuat, dengan menyandang peringkat pertama untuk semua bidang, sehingga publikasi yang nanti dihasilkan akan lebih berdampak, sitasinya akan banyak, dan rank UGM akan naik,” tuturnya. Untuk Teknik Mesin, topik yang diangkat sebagai potensi kolaborasi adalah pengembangan hidrogen, metal fuel, manufaktur, dan sistem pendinginan sebagai komponen Nawacita Pembangunan Nasional dan bagian dari strong knowledge Teknik Mesin, serta telah disusun berdasarkan kebutuhan industri masa depan. ”Industrinya juga telah committed untuk kerja sama, seperti untuk hidrogen kita kerja sama dengan PLN dan Pertamina, metal fuel dengan Pertamina, dan manufaktur dengan berbagai industri,” tutur Prof. Deendarlianto. Apabila sinkronisasi topik, pendanaan, dan mature agreement telah berjalan dengan baik, menurut Prof. Deendarlianto, kolaborasi akan mencapai tahap running dalam 6 bulan ke depan.

Berkaca dari pengalamannya selama mengikuti MIT REAP, Prof. Deendarlianto optimis bahwa hal yang serupa dapat diterapkan di UGM. ”Untuk di Teknik Mesin, kurikulum kita sangat menarik dan unik. Kita punya Proyek Desain 1, Proyek Desain 2, dan Proyek Kompetisi yang adalah kompetisi inovasi mahasiswa berdasarkan mata kuliah yang telah didapatkan. Di dalamnya terdapat konsep desain, market demand, detail engineering design, sampai manufaktur produknya. Jika selama ini dalam Proyek Desain 1, Proyek Desain 2, dan Proyek Kompetisi mahasiswa mendapatkan nilai, di MIT ada inovasi lagi dari Proyek Desain 1 dan 2, sehingga inovasi mereka terus mendapatkan improvement, dan ketika mereka lulus, universitas menawarkan apakah inovasi mahasiswa yang nilai ekonominya bagus akan dibangun startup atau tidak. Nantinya universitas akan menghubungkan dengan venture capital untuk pendanaan dan strateginya, sehingga mahasiswa memperoleh share, universitas juga mendapatkan share,” paparnya. Dengan iklim yang diciptakan MIT tersebut, setiap tahun ada 15 startup yang dihasilkan oleh unit inovasinya yang dalam beberapa tahun dapat menjadi unicorn startup dan meningkatkan angka alumni MIT yang terjun ke dunia startup. ”Universitas memiliki tanggung jawab, bukan hanya sekadar mendidik anak sebagai the best talent for new generation, tetapi juga membentuk generasi yang lebih agile, siap bertarung, inovatif, yang semuanya dimulai dari kurikulum, sehingga komunikasi kurikulum yang baik antara dosen dan mahasiswa sangat diperlukan,” tutur Prof. Deendarlianto. Selain itu, dalam menghadapi kompetisi tingkat dunia, Prof. Deendarlianto menegaskan bahwa akademisi dari berbagai perguruan tinggi perlu untuk berkolaborasi dan menjadikan institusi unggul dengan karya, reputasi, dan membawa industri serta pendanaan internasional untuk mendukung program-program kampus. ”Setiap program yang DTMI laksanakan, banyak mahasiswa yang dilibatkan. Harapan saya, dengan MIT nanti mahsiswa yang terlibat akan kita perbanyak, baik untuk riset maupun entrepreneurship,” pungkasnya.
